Sebagian kita gampang menuduh
orang lain itu sesat atau bid’ah. Serasa telah memegang tiket ke surga, mereka
pun gampang me-neraka-kan orang lain. Alasan sempit mereka adalah, “Kalau Nabi
nggak pernah melakukan, berarti kita tidak boleh melakukan.” Sekilas, alasan
ini kayaknya tepat, padahal bisa benar bisa salah. Karena sebenarnya teramat
panjang penjelasan untuk menyimpulkan sesuatu itu benar apa salah.
Kadang guru saya iseng bertanya
kepada mereka, “Bapak punya mushaf Al-Qur’an? Yang buku atau yang digital? Atau
kedua-duanya?” Mereka mengangguk, mengiyakan kedua-duanya. Guru saya pun
melanjutkan, “Ternyata Nabi Muhammad tidak punya Al-Qur’an berbentuk buku apalagi
digital.” Lihat ya, Nabi tidak melakukan itu, lalu apakah kita jadi salah kalau
melakukan itu?
By the way, Nabi dan sahabat juga tidak pernah mendirikan
pesantren apalagi rumah tahfidz, hehehe.
Nabi juga tidak pernah
memperingati Halal bi Halal (apalagi bermaaf-maafan secara khusus ketika
Lebaran dan Halal bi Halal), Tahun Baru Hijriyah, Isra’ Mi’raj, Maulid Nabi,
Nuzul Qur’an, apalagi MTQ. Begini ya. Anda mungkin soleh, senantiasa mengingat
Nabi dan Al-Qur’an sepanjang waktu. Namun betapa banyak muslim di luar sana
yang lalai dan abai. Karena itulah mungkin perlu momentum seperti Tahun Baru
Hijriyah dan Nuzul Qur’an, untuk mengingatkan mereka akan Nabi dan
Al-Qur’an.
Jujur saja, dulu sewaktu remaja,
saya pernah menjadi orang yang lalai dan abai. Alhamdulillah, kemudian
teringatkan. Wasilahnya melalui momentum seperti Tahun Baru Hijriyah dan Nuzul
Qur’an yang diadakan oleh tetangga saya. Wong ada peringatan saja, sebagian
kita masih lalai dan abai, apalagi kalau nggak ada? Kebayang kalau nggak ada?
Sekarang, saya tanya Anda.
Bolehkah Anda mengumpulkan orang-orang setiap Senin atau setiap Kamis, lalu
Anda bercerita tentang perjuangan Nabi? Insya Allah boleh. Bolehkah Anda
mengumpulkan orang-orang setiap 17 Agustus, lalu Anda bercerita tentang
perjuangan Nabi? Masih boleh. Bolehkah Anda mengumpulkan orang-orang setiap
awal tahun Hijriyah atau hari kelahiran Nabi, lalu Anda bercerita tentang
perjuangan Nabi? Hehehe, adalah aneh kalau jawabannya jadi nggak boleh.
Sekiranya ada orang yang berbeda pendapat, saya cuma berharap ia mau dan mampu
untuk saling menghormati.
Yang saya pelajari, kita tidak
boleh menambah-nambahkan sesuatu pada ibadah-ibadah yang telah diatur secara
khusus (tasyri’). Misalnya, sholat subuh yang harusnya dua rakaat, eh kita
tambah-tambahi jadi empat rakaat. Salam di akhir sholat yang harusnya dua kali,
eh kita tambah-tambahi jadi empat kali. Sholat berbahasa Jawa. Azan berbahasa
Padang. Jelas tuh, ngawur bin ngaco. Ada yang nyeletuk, "Mas Ippho, ikut
pendapat ulama dong!" Soal memperingati, para ulama berbeda pendapat. Yah,
saya ikut pendapat ulama yang membolehkan saja.
Sekiranya anda tidak mau
memperingati hari lahirnya Nabi, yah silakan. Tentu, anda punya alasan. Yang
penting, konsisten ya. Jangan juga anda memperingati (apalagi
menghadiri) Tahun Baru Hijriyah, Isra’ Mi’raj, dan Nuzul Qur’an. Jangan
pula anda mengingat-ingat hari lahir anak anda, kantor anda, atau usaha anda. Apabila
anda konsisten, tentu orang lain akan menghargai pilihan dan keputusan anda.
Semoga kita semua termasuk
orang-orang yang hatinya diberi petunjuk dan diberi kelapangan tatkala melihat
perbedaan.
Ditulis oleh Ippho Santosa. Untuk mengundang beliau, klik >> www.ippho.com